Penjara Mental
Dalam berbagai seminar pengembangan diri dan manajemen pikiran yang saya lakukan, saat saya bertanya pada peserta seminar, "Mengapa orang sukses?" atau "Mengapa orang gagal?", maka saya selalu mendapatkan jawaban yang beragam. Terlepas dari jenjang pendidikan peserta seminar, saya selalu mendapatkan jawaban yang justru bersifat menghambat diri mereka untuk bisa mencapai keberhasilan hidup. Jawaban-jawaban itu mencerminkan sistem kepercayaan yang justru telah mengurung mereka dalam satu zona kenyamanan yang tidak nyaman, dan telah menjadi penjara mental yang tidak mereka sadari.
Penjara mental yang saya maksudkan adalah berbagai kepercayaan yang salah, yang mereka terima sebagai sesuatu yang benar, tanpa pernah mereka periksa keabsahan dan kebenaran kepercayaan itu. Setiap kali saya bertanya "Mengapa orang sukses?", jawaban standar yang saya dapatkan adalah karena faktor keturunan, hoki, pendidikan, koneksi, hari lahir/jam lahir, nasib, jenis kelamin, shio/zodiak, modal, dan kesehatan / fisik. Anehnya, bila saya bertanya, "Mengapa orang gagal?", maka saya juga mendapatkan jawaban yang kurang lebih sama dengan jawaban di atas.
Yang lebih aneh dan memprihatinkan, setelah saya membahas dan menerangkan bahwa semua jawaban mereka itu adalah kepercayaan yang salah, tetap masih ada peserta seminar yang bersikeras bahwa apa yang mereka percayai, sebagai faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan hidup, adalah hal yang benar. Alasannya adalah karena kepercayaan itu adalah pelajaran yang mereka dapatkan dari orangtua, guru, atau figur yang mereka kagumi dan hormati.
Penjara yang umum kita kenal adalah tempat untuk mengurung seseorang, untuk periode waktu tertentu, yang telah berbuat kesalahan atau kejahatan. Selama seseorang berada di penjara maka ia kehilangan kebebasan dan sebagian hak-haknya sebagai warga negara. Narapidana menjalani hidup yang monoton dan terisolasi dari dunia luar sampai masa hukumannya habis.
Penjara mental menjalankan fungsi yang sama. Namun sangat banyak orang yang secara sadar atau tidak sadar telah memasukkan diri mereka ke penjara yang tidak kasat mata, yang lebih mengerikan, dan dapat mengurung diri mereka seumur hidup. Satu-satunya cara untuk keluar dari penjara mental adalah dengan secara sadar menelaah setiap kepercayaan yang dipegang seseorang. Tidak ada kepercayaan yang baik atau buruk. Yang ada adalah kepercayaan yang mendukung dan menghambat.
Kepercayaan seseorang mengendalikan cara berpikir, sikap, perilaku, bagaimana ia menggunakan waktunya, siapa kawannya, buku apa yang ia baca, gaya hidup, penghasilan, dan masih banyak aspek lain.
Saya sering bertemu dengan orang yang berkata, "Uang adalah akar dari segala kejahatan". Orang dengan kepercayaan ini hidupnya biasa-biasa, cenderung agak kekurangan. Mereka telah mengadopsi kepercayaan yang salah. Saat saya jelaskan bahwa kepercayaan itu kurang tepat karena mereka salah mengutip salah satu ayat dari kitab suci, mereka umumnya kaget. Kepercayaan ini telah menjadi penjara mental mereka.
Baru-baru ini saya bertemu dengan seorang kawan yang sangat berhasil secara finansial. Saat saya bertanya mengenai rahasia keberhasilannya, ia menjawab, "Sejak usia tujuh tahun saya telah mempunyai keyakinan bahwa bila saya berusaha dan bekerja keras, maka Tuhan akan berkonsultasi dengan saya untuk menentukan nasib saya". Kita tidak boleh menilai apakah kepercayaan ini benar atau salah. Kepercayaan adalah sesuatu yang pribadi. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bahwa apapun kepercayaan yang kita pegang maka kepercayaan ini akan mempengaruhi hidup kita.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan satu pertanyaan bagi anda. Ada dua keluarga yang mengajarkan dua kepercayaan yang berbeda pada anak-anak mereka. Keluarga pertama mengajarkan "Mangan ora mangan.........kumpul" . Keluarga kedua mengajarkan, "Kumpul....kumpul.......kita makan". Menurut anda, anak dari keluarga mana yang akan jauh lebih berhasil secara finansial?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar